Rabu, 30 Maret 2011

Sejarah Batik di Jetis

 
BATIK tulis traditional Sidoarjo yang berpusat di JETIS telah ada sejak tahun 1675, setahun setelah MASJID JAMEK dibangun. Masjid tersebut sekarang bernama AL ABROR, berada di KAUMAN.

Kala itu seorang yang konon masih keturunan raja dikejar-kejar penjajah dan lari ke Sidoarjo. Sayangnya sampai sekarang belum ada data akurat, siapa sebenarnya dan dari mana pria yang menyamar sebagai pedagang dan dikenal dengan panggilan MBAH MULYADI tersebut. Makam beliau masih ada di masjid yang kini sedang dipugar di Kawasan Kauman tersebut.

Bersama pengawalnya, Mbah Mulyadi mengawali berdagang di "PASAR KAGET" yang kini dikenal dengan nama "PASAR JETIS"

Selain memberi pelajaran mengaji dan mempelajari Al-Quran serta selalu mengajak shalat berjamaah, Mbah Mulyadi juga melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat dengan memberikan pelatihan keterampilan membatik.

Seiring dengan perkembangan penduduk, serta kian ramai nya perdagangan di Pasar Jetis, kawasan ini ini banyak didatangi para pedagang dari luar daerah, di antara para pendatangnya pedagang asal MADURA yang semakin banyak berdagang di Pasar Jetis, mereka sangat menyukai batik tulis buatan warga jetis.

Mereka sering memesan batik tulis dengan permintaan motif dan warna khusus khas MADURA . Itu sebabnya batik tulis asal Jetis ini kemudian dikenal orang sebagai batik corak MADURA.

Batik tradisinal Jetis dikenal sebagai batik tulis halus, yang kemudian coraknya berkembang menjadi corak khas batik Jetis yang berwarna warni, motifnya antara lain motif burung merak, kupu-kupu, bunga kenongo, kembang bayem dsb. Dan latar nya bermotif beras utah, cecekan, dan sunduk kentang.

Sekarang karya dari KAMPUNG BATIK bisa didapatkan di daerah2 terkenal di Indonesia dan mancanegara.. AYO BANGKIT SIDOARJOKU!!!

Perjuangan Kampung Batik Tulis Tua di Jetis

Enam orang wanita tengah duduk melingkar. Mereka sibuk menggunakan canting batiknya sambil memegangi selembar kain putih yang telah dipola. Mereka terbagi menjadi dua kelompok. Di bagian tengah tiap kelompok ada sebuah kompor minyak tanah yang terus mengepulkan asap dengan sebuah wajan di atasnya. Wajan itu tampak hitam legam karena tiap hari dipakai untuk memasak malam, bahan untuk melapisi kain batik sebelum diolah.
Di sisi lain, seorang wanita tengah bekerja di atas sebuah meja dengan alas berbahan karpet warna hijau. Ia menggunakan semacam kuas untuk melapisi kain batik yang usai dikerjakan oleh salah satu kelompok pembatik tadi. Dari pagi hingga sore mereka terus berada di sebuah ruangan memanjang dengan bau menyengat dari malam yang mencair di atas kompor minyak..
Di atas adalah gambaran keseharian ibu-ibu pengerajin batik tulis yang berkerja pada “Batik Azizah” di Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo. Keahlian membatik telah mereka dapatkan secara turun temurun. Kebanyakan para wanitalah yang menjadi pembatik sedangkan para pria dengan setia melakukan tahap finishing di dapur rumah pembuatan batik. Mereka berjibaku dengan bearagam cairan kimia sebagai bahan pewarna sekaligus finishing batik tulis Jetis asli Sidoarjo.
Gang III dan sekitarnya di kampung Jetis, kecamatan Sidoarjo Kota, disanalah Anda bisa menemukan pemukiman para pembatik yang masih banyak tinggal di dalam kampung. Sedangkan galeri dan toko-toko batik tulis Jetis berjajar di sepanjang kedua sisi Jalan Pasar Jetis, di sisi luar gang III kampung Jetis. Di sepanjang jalan ini pula, kita bisa melihat beberapa rumah bangunan tua zaman Belanda saksi kejayaan batik tulis Jetis di masa lalu.
Awal
Sebuah canting berwarna keemasan dengan sebuah lingkaran putih di bawahnya bertuliskan “Kampoeng Batik Jetis sejak 1675” terpampang di salah satu gang. Kedua tanda tersebut cukup besar hingga menjadi penunjuk tempat (gang) para pengerajin bekerja ketika Anda melewati Jalan Pasar Jetis.
Memang batik Jetis telah ada sejak tahun 1675. Batik tersebut dibawa oleh Mbah Mulyadi, keturunan Raja Kediri. Namun perkembangan usaha batik tulis Jetis baru nampak pada tahun 1950-an. “Tahun 1956 perusahaan batik Ny. Wida sudah resmi berdiri dan banyak orang Jetis masih ngikut kerja di tempat kami,” tutur Dwitjahjo, generasi ke tiga penerus usaha batik tulis Ny.Wida, usaha batik tertua di kampung Jetis ini. Nama Widiarsih atau yang akrab dipanggil Ny. Wida cukup terkenal di kalangan masyarakat Jetis kala itu. Wanita tersebut pemilik perusahaan batik tulis terbesar. Keberadaan perusahaan batik di tahun 1950-an dibenarkan oleh H. M. Nur Wahyudi, pengusaha sekaligus pengerajin “Batik Azizah”. “Dulu sekitar tahun 1955 orang tua saya jadi buruh batik dulu sebelum akhirnya buat batik sendiri,” cerita pria yang biasa dipanggil Pak Haji atau abah tersebut. Saat itu pembeli batik tulis Jetis kebanyakan pedagang dari Madura yang senang dengan warna batik mencolok. Pedagang-pedagang tersebut kemudian menjualnya ke pulau Madura.
Usaha batik pun mulai berkembang sekitar tahun 1970-an. Berbekal keahlian yang mereka dapatkan sebelumnya, orang-orang Jetis pekerja Ny. Wida mulai membuka usaha batik mereka sendiri. Dari sinilah usaha batik mulai menjadi usaha rumahan masyarakat Jetis. Usaha tersebut kemudian juga menjadi mata pencaharian utama mereka selama bertahun-tahun hingga sekarang.
Peresmian
Usaha batik Jetis dari tahun ke tahun terus bertahan hingga sekarang. Sayangnya hingga awal tahun 2008, para pengerajin dan pengusaha mengembangkan usaha batik secara sendiri-sendiri. Belum ada organisasi terstruktur yang dibentuk guna menyatukan dan membantu mereka khususnya dalam hal pemasaran. Karena itulah mereka selalu kesulitan memasarkan batiknya, apalagi dengan jumlah pengerajin batik asal Jetis juga banyak.
“Dulu batik Jetis banyak dijual di Pasar Pabean, Surabaya,” cerita Zainal Afandi, sekretaris Koperasi Batik Tulis Sidoarjo, ketika ditemui outlet koperasi sekitaran Jalan Pasar Jetis. Lebih lanjut pria berkacamata ini bercerita, “Karena semua pengerajin mengirim batik ke pasar tersebut, pedagang disana semakin menekan harga jualnya.” Hal ini menyebabkan batik Jetis tumpah-ruah di satu pasar saja.
Akhirnya kaum muda Jetis berinisiatif membentuk sebuah paguyuban. “Tanggal 16 April 2008 Paguyuban Batik Sidoarjo (PBS) resmi berdiri,” ujar Zainal yang mengenakan kemeja batik Jetis warna ungu saat diwawancarai. Selanjutnya tak lama setelah pembentukan paguyuban tersebut, tanggapan positif muncul dari pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Pada tanggal 3 Mei 2008 Win Hendrarso, Bupati Sidoarjo, meresmikan
“Kampoeng Batik Jetis” di kampung Jetis itu. Peresmian tersebut ditandai dengan adanya gapura “Kampoeng Batik Jetis” dilengkapi dengan kombinasi beberapa gambar batik tulis Jetis. Gapura ini terlihat jelas di jalan masuk Jetis dari arah Jalan Diponegoro. Bahkan pada malam hari gapura ini menyala terang dan menarik mata pengunjung sebelum memasuki kawasan Jetis.
“Kami hanya mengakomodir dan membantu promosi batik Jetis ke masyarakat luas,” ungkap Septady Koesmantoyo, Kabid Pariwisata Kabupaten Sidoarjo, ketika ditemui di kantornya. Menurutnya konsep pembentukan Kampoeng Batik Jetis murni berasal dari masyarakat Jetis. Lebih lanjut ia menjelaskan tujuan Kampoeng Batik Jetis sebagai sarana pemberdayaan potensi kampung binaan pemda. “Kampoeng Batik Jetis baru diresmikan tahun lalu sekaligus ikut menyukseskan program Visit Indonesia Year 2008,” tanggapan Septady yang juga pecinta traveling dan wisata kuliner ini, saat ditanya alasan peresmian yang baru dilakukan setahun lalu.
Upaya promosi tak berhenti di situ saja. Bekerja sama dengan Paguyuban Guk & Yuk Kabupaten Sidoarjo, pada grand final yang lalu turut diadakan peragaan busana batik tulis Jetis. Kerja sama dengan penyedia jasa travel yang membawa wisatawan juga dilakukan. Dengan demikian, wisatawan yang menggunakan jasa tersebut akan diarahkan langsung ke Jetis untuk melihat Kampoeng Batik Jetis dari dekat.
Peresmian Kampoeng Batik Jetis ternyata tidak dibarengi dengan keberlanjutan paguyuban yang telah terbentuk sebelumnya. Upaya kaum muda tak berhenti begitu saja. Mereka terus mengupayakan organisasi pengganti paguyuban hingga akhirnya mendirikan sebuah koperasi. Koperasi Batik Tulis Sidoarjo diresmikan pada 31 Desember 2008. Koperasi ini masih bertahan hingga sekarang dan memiliki sebuah outlet sebagai showroom sekaligus menampung batik hasil pengerajin anggotanya.
Pasang Surut
Tahun ini, keberadaan batik tulis Jetis hampir mencapai usia 335 tahun. Sebuah perjalanan panjang warisan budaya leluhur yang mampu dilestarikan turun temurun hingga sekarang. Sepanjang perjalanan itulah batik Jetis banyak mengalami pasang surut, tak ubahnya sebuah batu besar di pinggiran pantai. Meskipun pasang surut menggerus, kampung batik tulis Jetis masih terus bertahan dengan segala daya dan upayanya sebagai kawasan penghasil batik kebanggan kota Sidoarjo.
“Di tahun 70-an sampai 80-an permintaan batik tulis Jetis sangat tinggi, pengerajin dan usaha batik untung banyak” tutur Zainal. Namun lebih lanjut ia bercerita sekitar tahun 1990-an mulai muncul batik sablon yang dikenal dengan tekstil bermotif batik. Batik tersebut membuat permintaan dan produksi batik Jetis turun drastis. Penurunan tersebut berimbas banyaknya pengerajin dan usaha batik yang gulung tikar sehingga kampung Jetis semakin sepi. Surutnya batik Jetis juga disebabkan pangsa pasar mereka yang dominan hanya para pedagang dari Pulau Garam saja.
Seiring berkembangnya teknologi sekarang ini, muncul batik print (cetak) sebagai pesaing batik tulis Jetis. “Motifnya bagus, corak warnanya bagus, tapi sekali cuci langsung luntur,” ujar Zainal. Itulah perbedaan yang membuat batik tulis masih bisa bertahan karena lebih awet dari pada batik jenis lainnya.
Beruntung mereka yang masih bisa bertahan mulai menyesuaikan diri dengan selera pasar. “Munculnya kreasi motif dan warna batik Jetis supaya bisa bersaing dengan batik-batik lainnya,” tegas Zainal. Langkah menyesuaikan diri ini sekaligus upaya memasyarakatkan batik tulis Jetis secara luas.
Sayangnya langkah di atas menyebabkan adanya pergeseran motif batik Jetis Sidoarjo. “Sekarang orang-orang (pengerajin dan pengusaha batik) senang buat motif musiman supaya laku,” ujar Mariatun, pengusaha Batik Maduratna-Batik Tulis Khas Madura (Ny. Wida), ketika ditemui di kediamannya. Menurutnya justru itu akan merugikan mereka sendiri. Itulah sebabnya ia masih bertahan dengan motif awal batik Jetis dengan warna khas yang mencolok seperti sekar jagat, kambang pring, manuk cipret dan masih banyak lagi. Ia berusaha menganekaragamkan hasil produksi batiknya saja. Dulu ia hanya membuat jarik, sewek (selendang), dan udeng (iket kepala khas orang Madura). Sekarang ia juga membuat sprei, taplak meja, sarung bantal dan guling, hingga kemeja pria maupun wanita sesuai pesanan. Selain itu ia juga terus berusaha menjaga kualitas batik hasil produksinya.
Pergeseran motif batik Sidoarjo terjadi perlahan. “Motif batik Jetis sekarang ada kembang bayem, pecah kopi, beras wutah, kembang tebu,” papar Zainal. Menurutnya semua motif tersebut memiliki filosofi yang erat kaitannya dengan kabupaten Sidoarjo. Lantas ia menjelaskan motif kembang tebu muncul karena Sidoarjo memiliki lima pabrik gula. Motif beras wutah dilatarbelakangi adanya dua penggilingan padi di Sidoarjo di masa lalu namun tetap saja kurang dibandingkan kebutuhan masyarakat akan beras. Dulu orang-orang di pedalaman Sidoarjo bercocok tanam kopi, inilah yang filosofi di balik motif pecah kopi. Sedangkan motif kembang bayem muncul karena dulu Sidoarjo adalah pemasok sayur-sayuran terutama bagi masyarakat Surabaya.
Upaya memasyarakatkan batik Jetis ternyata masih mendapatkan tantangan dari sisi proses pengerjaan batik tulis. Bila dikerjakan sesuai dengan proses sebagaimana batik tulis asli Jetis pada masa yang lalu, selembar batik baru selesai dikerjakan hampir sebulan lamanya. “Batik yang bagus butuh proses ngethel kainnya sekitar 20 hari,” kata abah. Dia sendiri sekarang hanya sanggup ngethel selama 10 hari. Ngethel merupakan proses merendam kain polos yang akan dibatik dengan campuran minyak kacang dan soda abu berkali-kali. “Ngethel perlu supaya campuran pewarna kimia batik bisa nempel lama,”urai Hj. Sunia, istri abah, yang telah menekuni usaha batik bersama setelah menikah sekitar 24 tahun lalu. Proses ini juga turut menentukan patokan harga selembar batik tulis Jetis.
Selain waktu yang lama, proses ngethel juga butuh biaya ekstra. Oleh karenanya saat ini banyak pengerajin yang mengurangi proses ngethel ini menjadi minimal lima kali saja. Dengan begitu harga jual batik yang dibandrol tidak terlalu mahal untuk konsumsi masyarakat umum. Konsekuensinya, semakin murah harga batik maka semakin tidak awet dipakai maupun disimpan.
Jalan Mudah ke Kampung Batik Jetis
Bagi Anda yang ingin mengunjungi Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo tak perlu khawatir dan bingung meskipun tanpa tour guide. Mengingat letaknya strategis di tengah kota, berbagai alternatif akses menuju wisata kampung batik tersedia mulai pengguna kendaraan pribadi maupun transportasi umum.
Alternatif 1 – Bagi pengendara motor, dari arah Surabaya Anda bisa melewati Jalan Gajah Mada. Begitu melintas di depan Matahari Departmen Store, Anda belok kanan tepat memasuki pelataran parkir dan Anda terus masuk saja. Begitu melewati pasar Jetis dan sebuah jembatan, Anda telah masuk ke kawasan kampung Jetis (Jalan Pasar Jetis). Jalanan dari pasar hingga masuk kawasan kampung hanya bisa dilalui pejalan kaki, motor, dan becak saja.
Alternatif 2 – Anda yang mengendarai mobil pribadi ada dua alternatif. Pertama, parkir kendaraan Anda di areal parkir Matahari Departmen Store, kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki atau naik becak melewati rute yang sama seperti untuk pengendara sepeda motor. Jarak areal parkir hingga kampung Jetis sekitar 750 meter. Kedua, di sebelah ujung Jalan Gajah Mada akan terpecah menjadi dua belokan (setelah melewati studio foto Agung di kanan jalan). Ambil belokan sebelah kanan dan Anda akan memasuki Jalan Diponegoro. Setelah melewati jembatan, Anda mengurangi kecepatan dan mengambil sisi kiri. Sekitar 500 meter dari jembatan Anda akan melihat Gapura Kampoeng Batik Jetis di sisi sebelah kanan. Gang masuk kampung Jetis tidak terlalu besar, ada baiknya kendaraan Anda diparkir di sisi kiri jalan dan Anda berjalan kaki ke seberang Jalan Diponegoro masuk kawasan kampung Jetis.
Alternatif 3 – Bagi Anda yang senang menggunakan transportasi umum dari Surabaya ada dua pilihan, yaitu menggunakan mikrolet kuning (W maupun TA) atau menggunakan kereta komuter. Mikrolet W maupun TA dapat dijumpai di terminal Joyoboyo, Surabaya. Pengguna kedua mikrolet tersebut sangatlah beruntung karena Anda akan diajak berkeliling kota Sidarjo mulai alun-alun kota, pusat perbelanjaan di Jalan Gajah Mada, RSUD Sidoarjo hingga Pasar Larangan. Anda cukup mengatakan stasiun sidoarjo, maka Anda akan turun di Jalan Diponegoro dan gapura Kampoeng Batik Jetis terlihat di seberang jalan. Bagi pengguna komuter, Anda akan turun di Stasiun Sidoarjo. Setelah itu, Anda berjalan kaki sekitar 500 meter ke arah Jalan Diponegoro depan stasiun. Sama halnya dengan pengguna mikrolet, Anda tinggal menyeberang saja.

Kampoeng Batik Jetis - Sidoarjo

Siapa yang tak kenal Sidoarjo, sejak terjadinya luapan lumpur lapindo, tak seorangpun akan asing dengan Kabupaten Sidoarjo. Kabupaten Sidoarjo terletak di sebelah selatan Kota Surabaya. Sidoarjo terkenal dengan kerupuk udang, terasi, petis dan bandengnya, Tanggulangin (masih Sidoarjo juga) dengan kerajinan tas dan koper, Wedoro dengan kerajinan sepatu dan sandal yang masih termasuk daerah sidoarjo, lalu Porong dengan ote-ote dan lumpur lapindonya, semuanya itu ada di Kabupaten Sidoarjo. Dan kini Sidoarjo bangkit dengan potensi batik jetis. Sidoarjo juga punya Kampoeng batik dengan nama Batik Jetis, Kampoeng ini memproduksi batik tulis dengan motif yang khas dari Sidoarjo.
Batik sekarang ini telah menjadi trend di semua kalangan masyarakat, baik dalam acara-acara formal maupun non formal. Dalam era modernisasi dan globalisasi ternyata batik tulis tradisional masih di cintai dan dilestarikan oleh masyarakat yang sudah berwawasan global dan modern. Salah satunya adalah batik tradisional jetis yang berada di Kabupaten Sidoarjo. Lokasinya di pusat kota Sidoarjo, tepatnya dijalan Diponegoro, di situ akan ada Gapura dengan motif batik lalu ada ornamen canting batik.
Batik-Jetis-1 
Kampoeng Batik Jetis ini sebenarnya telah ada puluhan tahun yang lalu. Keahlian batik ini diperoleh dan dikuasi secara turun-temurun. Motifnya juga motif kuno, tidak banyak perubahan dari motif yang dulu dipakai oleh para pendahulu. Ada abangan dan ijo-ijoan (gaya Madura), motif beras kutah, motif krubutan (campur-campur) lalu ada motif burung merak, dan motif-motif lainnya. Motif kain batik asal Jetis didominasi flora dan fauna khas Sidoarjo yang memiliki warna-warna cerah, merah, hijau, kuning, dan hitam. Keunggulan batik tulis Jetis justru pada warna yang mencolok. Bahkan ketika perajin menawarkan batik tulis dengan warna lembut, pasar kurang merespons.
Di dalam kampoeng Jetis tersebar rumah para perajin batik yang merupakan salah satu sentra Batik terbesar di Sidoarjo Di kampoeng ini akan ditemukan bangunan-bangunan dengan arsitektur roemah tempoe doeloe yang cukup menarik untuk disimak, jendela besar dan jeruji besi yang antik, dapat kita bayangkan pada masa jayanya daerah tersebut cukup ramai dan banyak terdapat rumah para juragan batik beserta perajinnya menempati daerah tersebut.
Namun selang beberapa tahun yang lalu jumlah perajin semakin menurun, banyak yang beralih profesi ataupun menutup usahanya, hal ini disebabkan karena semakin langkanya generasi muda yang terjun untuk meneruskan warisan budaya membatik sebagai suatu usaha yang dapat menjamin kehidupan. Dapat kita ketahui bahwa upaya para penerus usaha batik ini sangat tangguh menjalankan usahanya dengan kondisi yang tidak menentu seperti bahan baku yang tidak stabil harganya, kualitas kain, perajin batik/buruh pembatik yang semakin sedikit dan lain-lain. Sebagai tindak lanjut dari Komitmen Bapak Bupati Sidoarjo agar Sidoarjo bangkit, maka pada tanggal 3 Mei 2008 telah diresmikan “Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo” sebagai salah satu tujuan wisata.
Saat ini pengusaha batik tulis di daerah ini berjumlah 30-an pengrajin yang tergabung dalam koperasi dengan mempekerjakan ratusan ibu-ibu pembatik. Harga batik tulis jetis ini lebih mahal 5 kali dibanding dengan batik cetak. Harganya berkisar antara Rp 150.000 – Rp 2,5 juta per lembar sesuai kerumitan corak.
Tingginya permintaan kain batik untuk dijadikan busana dengan berbagai model, memotivasi perajin untuk terus meluncurkan corak baru. Kampoeng Batik Jetis kini terus berbenah, terutama untuk menghasilkan corak batik sesuai selera pasar. Perajin pun terus mengembangkan kreasinya dengan tidak hanya menjual kain batik tulis, tetapi sudah berupa kemeja siap pakai. Kreativitas lain ditampilkan dengan memproduksi sepatu dan sandal dengan bahan kain batik tulis, termasuk tas dan pernak-pernik lain. Kreativitas perajin benar-benar diuji agar mampu menguasai pasar lokal dari serbuan tekstil impor yang bercorak batik.
Nah kalau anda berminat atau penasaran gimana sih proses pembuatan batik tulis yang uda kualitas ekspor ini...?? monggo silahkan dateng aja ke kampoeng Batik Jetis. Rumah gue juga di Jetis lhoo...(promosi) hehee :)), banyak kok yang mengadakan kunjungan kesini, mulai dari instansi pemerintah atau tamu dari pemkab sidoarjo sendiri, mahasiswa, anak SMA, SMP sampe SD. Bahkan turis2 mancanegara juga sering mengunjungin kampung kecil di kota Sidoarjo ini ,ada yang dari Australia, China, Jepang. Jauh2 dari sana hanya untuk mengenal dan mengapresiasi sebuah karya yang luar biasa dari orang indonesia dan di akui dunia. Ya meskipun secara resminya baru tahun2 kemaren sih... :)) bayangin deh, orang luar aja pengen tau lebih dekat budaya kita, masa' kita tidak ?? Kita seharusnya sadar bahwa kita harus lebih mengenal dan melestarikan budaya2 bangsa kita. So, ayo kita mengenal lebih dekat budaya kita sendiri ! jangan sampe "dicuri" lagi tuh ma si Malingsia!!

Jumat, 25 Maret 2011

Nasionalisme Karbit (puisi)


Priiiittt,
sang pengadil lapangan meniupkan peluit,
si kulit bundar bergulir tanpa berbelit,
kaki-kaki berebut bola tanpa hiraukan sakit,
stadion bergelora, semangat bangkit,
Ya, ini pertandingan sengit,
prestasi dan prestise lebih penting dari sekedar duit,
tak peduli masa lalu diungkit-ungkit,
rekor pertemuan tak lagi wingit,
yang kalah pasti akan sakit,
yang menang bakal terbang ke langit,
Semua berbaur, tak pandang warna kulit,
peluang terbuang, dan suporter menggigit,
beberapa orang diam, yang lainnya komat-kamit,
sedikit di antaranya menyulut garpit,
bersama petasan bikin udara jadi sangit,
Mereka datang dengan atas dasar Nasionalisme? Bullshit!
itu fanatisme, dan segelintir alasan silit,
yang datang dengan berdandan genit,
yang masuk tanpa tiket, menerobos bak tikus berit,
masih pakai alasan sedang pailit,
atau yang masuk bawa celurit, kadang sabit,
yang bayaran dan bawa spanduk ‘Kami mendukung Nurdin Halid’,
Beta bilang Nasionalisme mereka sempit,
tapi semangat mereka besar bak bukit,
bangsa yang besar ini sedang terbelit,
dituduh ini itu Pemerintahnya sibuk berkelit,
rakyatnya miskin, prestasi miskin, keburukannya selangit,
bahkan untuk merasakan kebanggan ini hanya 90 menit,
dan berakhir kala wasit meniup peluit,
Akhirnya catatan ini sekedar kredit,
buat para negarawan yang katanya bekerja demi rakyat, meski realitanya morat-marit,
mulutnya ndower perutnya membuncit,
ngobralnya banyak tapi kerjanya sejimpit,
bolehlah kita belajar tentang meteorit, leukosit, sampai elektrolit,
tapi jangan lupa ‘tuk mengawasi kinerja para elite,
karena sepakbola tak ubahnya politik strategi, dan mudah menjangkit,
kawan-kawanku, saudara-saudaraku, ayolah bangkit!
Negara ini sangat butuh perhatianmu, priiiittt.
blogwalking.. Selamat datang di blog saya.